Jika Anak Bertanya “Apakah Tuhan itu Ada?”, Begini Meresponnya


Dulu ada cerita bagaimana cara kaum atheis mendidik anak-anaknya secara kognitif agar tidak percaya adanya Tuhan, yaitu dengan cara berikut : 

“Anak-anak, tutup mata kalian dan minta sama bu Guru permen” anak-anak pun menutup matanya sesuai perintah gurunya dengan maksud berdoa minta permen, dan tentu saja setelah mata anak-anak terbuka, di tangannya sudah ada permen pemberian dari bu Gurunya. Kemudian bu Guru itu melanjutkan, 

“Anak-anak, sekarang tutup lagi mata kalian, dan minta permen sama Tuhan” anak-anak ini pun melakukannya, begitu matanya terbuka, tak ada permen, lalu disinilah kesempatan pendidik menanamkan ketidakpercayaan adanya Tuhan. 

“Bagaimana anak-anak, apakah kalian dapat permennya?” sontak anak-anak menjawab “Tidak..!”

“Kalau begitu, Tuhan ada tidak?” dengan kondisi seperti ini, anak-anak yang bisa dibilang masa Golden Age ini (masa-masa emas) sangat meresapi simulasi cara di atas, dan itu akan dibawanya sampai besar nanti, dan besar kemungkinan manusia yang tidak percaya adanya pencipta akan menemukan banyak masalah, termasuk masalah filosofis yang tengah dijalaninya. Belajar dari Nietzche yang akhirnya hayatnya memilih bunuh diri, apakah ini problem yang dirasakannya karena terus melawan kecenderungan fitrahnya mengenal sang Pencipta?. Mungkin kita bisa mencari data-data dari orang-orang yang tidak mempercayai Tuhan akan menemukan banyak masalah, ingin tampak reaslitistik namun malah keblinger, ingin sangat rasional tapi metodenya rapuh. 

Pentingnya mendidik anak-anak sejak dini dalam hal pengenalan adanya Tuhan wajiblah dilakukan, karena dengan inilah akan lahir manusia-manusia bijak. Jika tidak, bisa melahirkan manusia-manusia yang akan mempermainkan hidupnya di segala arena. Misalnya kelak ia menjadi pejabat, namun karena tidak percaya adanya Tuhan dan keyakinan, maka kemungkinan bisa menjadi koruptor, korupsi itu sementara bisa menyenangkan, tapi lama kelamaan akan meresahkan sehingga sulit bahagia, karena kalau melawan sistem keadilan itu akan berbalik menjadi malapetaka. 

Sejatinya orang-orang yang telah memikirkan bagaimana Tuhan bekerja membentuk kehidupan ini, senantiasa bersikap atau ingin meniru sifat-sifat Tuhan yaitu pengasih dan penyayang, maka dengan tidak melakukan tindakan jahat meski punya kesempatan adalah suatu bentuk kepercayaan yang maksimal. Selain sebagai kepercayaan juga sangat menguntungkan secara individu dan kolektif, maka kalau sudah begitu apakah ini tidak disebut rahmat dan berkah ilahi?. 

Lantas, bagaimana caranya menyikapi jika anak-anak bertanya tentang Tuhan?, misalnya : 

“Mama, Tuhan itu ada ngak sih?” tanya sang anak, disini orang tua bisa mencari perumpaan yang mudah dipahami oleh sang Anak, misalnya dengan memperhatikan pohon-pohon yang banyak daunnya, lalu mengajukan pertanyaan. 

“Mmhh.. coba perhatikan daun-daun pepohonan itu?, bergerak ngak?” pastilah sang Anak akan menjawab “Iya bergerak”

“Kenapa bisa bergerak?” orang tua menggunakan metode dialog

“Ada angin yang menggerakkannya” jawab sang Anak, 

“Apakah angin bisa kamu lihat nak?” Biarkan pikirannya menyerap terus, agar logikanya bermain. Tentu anak menjawab “Tidak bisa lihat angin” nah disinilah bisa dijelaskan agar paham. 

“Nah, angin ada kan?, tapi tidak bisa dilihat?, tapi bisa dirasakan?, itu artinya yang tidak terlihat mata belum tentu tidak ada. Tuhan tak bisa dijangkau oleh indera penglihatan, tapi DIA ADA”

Mungkin cara dialog yang digunakan disesuaikan, karena setiap anak berbeda cara merespon komunikasi, pastinya dengan perumpaan adalah cara yang mudah untuk memahamkan anak-anak yang bertanya tentang adanya Tuhan. 

Sangat bagus jika anak-anak sering bertanya tentang fenomena kehidupan ini termasuk pertanyaan masalah Ketuhanan dan alam akhirat, itu artinya ia berupaya memacu jiwanya (pikirannya), jika orang tua membentaknya maka itu sama halnya menghancurkan pondasi bangunan yang kelak kokoh berdiri. Iya, bangunan yang kokoh dengan pondasi cakar ayam yang rapat akan tahan goncangan seperti gempa dan lain-lain. Sebaliknya yang tidak rapat pondasi cakar ayamnya akan mudah roboh. Pondasi cakar ayam inilah adalah asupan jawaban yang orang tua berikan pada anak-anak yang sering bertanya, jika ia sudah dibentak maka pondasi cakar ayam ini kosong melompong, tidak rapat. Dan kelak si anak akan menemukan banyak permasalahan, termasuk masalah kepercayaan diri serta cara merespon sosial kemasyarakatan. 

Nah, kira-kira demikian salah satu cara merespon anak-anak yang sering bertanya, terlebih masalah ketuhanan, para orang tua memang harus kreatif mendidik, demi melahirkan generasi-generasi yang handal dan senantiasa berguna bagi kehidupan. 

Salam Pendidikan

Mayaza Home Schooling 



Komentar